Level Ikhlas Manusia

Level Ikhlas Manusia

“Ghanimah, ghanimah..”, ucap beberapa sahabat Rasulullah saat kaum Quraisy melarikan diri di perang Uhud. Teriakan sukacita akan adanya harta rampasan perang itu pun terdengar oleh pasukan pemanah yang ditugaskan tetap berada di atas bukit Ar Rumah. Alhasil ada sebagian pasukan pemanah yang tertarik akan kepemilikan harta perang tersebut hingga dalam kisahnya 40 orang pasukan pemanah turun dari posisinya. Kesempatan ini terlihat oleh Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal untuk merebut posisi strategis tersebut. Akibatnya, kaum muslimin menjadi kocar kacir, bahkan Rasulullah terdesak dan hampir terbunuh.

Memang, alasan yang nampak sebagai penyebab serinya Perang Uhud ini adalah ketidaktaatan pasukan pemanah yang meninggalkan posisinya. Namun, saat kita ambil sudut pandang lainnya, stimulan kejadian tersebut adalah adanya kecintaan yang berlebih terhadap kepemilikan harta dibanding janji Allah dan Rasulullah. Nah, jika dikaitkan akan skala prioritas mana yang didahulukan antara janji Allah dan Rasulullah dengan iming-iming keindahan harta dunia.

Pembahasan hal ini adalah masuk ranah keikhlasan, yakni bagaimana niat seseorang dalam melakukan sesuatu. Bisa dibilang, untuk mampu merasakan nikmatnya Ikhlas juga ada levelling nya. Dimana hal ini bertujuan untuk melatih optimalisasi ikhlas dengan memahami kemampuan tiap diri.

Ikhlas adalah kata kerja intransitif yang artinya bersih, suci, murni, dan jernih. Atau dalam definisi lainnya, tidak ternodai dan tercampur oleh unsur lain. Jadi, ikhlas adalah kesucian akan segala sesuatu karena Allah dan tidak tercampur unsur lainnya. Jadi, poin ikhlas itu niat yang murni karena Allah.

Menariknya, jika semua amal ibadah yang kita lakukan mampu diniatkan hanya karena Allah semata, maka akan terasa sekali bahwa sungguh indah sekali aturan Allah. Namun, keikhlasan itu perlu dilatih karena ia hal yang berat. Sekaliber para sahabat pun masih berat dalam mengoptimalkannya. Sehingga latihan adalah konsep ideal untuk bisa menikmati makna keikhlasan tersebut.

Level satu. Ikhlas karena Allah, tersebab janji-janji Allah yang bersifat duniawi. Semisal pada QS. 2: 261 terkait pengali lipatan infak menjadi 700 kali lipat. Shalat dhuha mempermudah rezeki, dan taqwa akan memberikan solusi dari permasalahan hidup. Ini beberapa janji Allah yang bersifat duniawi, terkesan tampak dan dapat dinikmati. Sehingga saat seseorang yang beribadah karena berharap dapat rezeki melimpah atau problematika hidupnya hilang, jangan katakan ia tidak ikhlas beribadah. Ia tetaplah ikhlas karena Allah dengan mendasarkan pada janji Allah yang bersifat materi.

Level dua. Ikhlas karena Allah, tersebab janji-janji Allah yang ghaib. Semisal barangsiapa yang berpuasa akan diampuni dosanya, amal ibadah haji terjanjikan surga, pelaku puasa ramadhan mendapatkan surga VIP pintu Ar Rayyan. Jadi, saat seorang muslim melaksanakan ibadah karena mengharap surga, ampunan dan lainnya, tetaplah ia ikhlas beramal karena semua janji itu dari Allah. Jadi, ia beribadah karena Allah.

Namun, level tertinggi keikhlasan adalah Level tiga. Yaitu ikhlas karena Allah tanpa tendensi apapun. Ya, pada level ini kita berserah diri secara penuh, terserah Allah bagaimana nantinya. Karena logikanya, kalau kita memiliki tendensi pribadi hanya mengharapkan beberapa dari janji Allah, kita akan membatasi kemampuan Allah mengaruniakan kebaikan kepada kita.

Semisal Allah mampu memberikan kita 1000 kali lipat, tapi kita hanya meminta 700 kali lipat, kan kitalah yang membatasinya. Maka di surat Al Baqarah : 261 itu ditutup dengan kalimat yang indah “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunianya)”. Oleh karenanya, makna keikhlasan itu harapan kepada Allah akan kebaikan bagi diri. Karena hal spesifik yang kita harapkan bisa jadi buruk bagi kita, tetapi karunia Allah adalah yang terbaik bagi hambanya. Maka alangkah bahagianya hidup bila mampu mencapai keikhlasan hakiki karena Allah sendiri yang akan mengaruniakan kebaikan mendasar kebutuhan kita yang hanya Allah memahaminya. Mari belajar berikhlas!

Oleh:
Ustaz Heru Kusumahadi M.PdI
Pembina Surabaya Hijrah (KAHF)

————————

Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
💳 BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

Para Sahabat Nabi Senang Bersedekah Meski Dalam Kondisi Terbatas

Para Sahabat Nabi Senang Bersedekah Meski Dalam Kondisi Terbatas

Rasulullah -shallallahu `alaihi wa sallam mengajarkan bahwa Islam merupakan agama persaudaraan (ikhaa`), kasih sayang (mawaddah) dan solidaritas (takaful). Ajaran luhur ini mengajarkan agar yang kuat membantu yang lemah, yang kaya menanggung yang fakir, yang berkecukupan membantu yang kekurangan. Karunia Allah diberikan kepada hamba-Nya melalui cara-cara yang berbeda, termasuk melalui tangan saudaranya. Hal ini disebut dalam sabda Rasulullah,

“Siapa yang memiliki kelebihan bekal hendaklah memberikannya kepada orang yang tidak memiliki perbekalan”
(HR. Muslim).

Para sahabat Nabi senang berlomba-lomba menjadi pintu bagi rezeki saudaranya. Salah satunya adalah Abdurrahman bin Auf yang dikenal dengan sedekahnya yang luar biasa. Sahabat nabi ini mengajarkan bahwa sedekah merupakan karakter pengusaha muslim. Di antara salah satu kisah sedekahnya adalah, bahwa Abdurrahman menjual tanahnya kepada Usman seharga 40.000 dinar (1 dinar = 4.25 gram emas) dan menyedekahkan seluruh hasil penjualan kepada Bani Zuhrah, fuqara dan kepada para istri Rasulillah. Abdurrahman bin Auf juga dikenal sebagai sahabat yang mewasiatkan hartanya dalam jumlah besar, diantaranya: wasiat untuk 100 pejuang Badar dimana setiap orang mendapat 400 dinar, wasiat untuk jihad sebanyak 1000 ekor kuda, dan wasiat kebun senilai 100.000 dinar untuk ummahatul mukminin.

Dalam bab sedekah, sahabat nabi dikenal dengan respon cepatnya terhadap arahan wahyu. Dikisahkan bahwa ketika turun Ali Imran 92, Abu Thalhah menemui Rasulullah dan menyampaikan,

“Ya Rasulullah, Allah berfirman, ‘Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai’. Hartaku yang paling aku sukai adalah kebun Bairuha. Kebun itu aku sedekahkan untuk Allah. Aku berharap mendapat pahala dan menjadi simpananku di sisi Allah. Silahkan manfaatkan untuk kemaslahatan umat.”

Rasulullah merespon sedekah Abu Thalhah dengan berkata: “Luar biasa, harta ini memperoleh keuntungan besar. Aku telah mendengar apa yang kamu harapkan. Dan aku menyarankan agar manfaatnya diberikan kepada kerabat dekatmu.”

Sahabat Utsman bin Affan juga meyakini bahwa berbisnis dengan Allah lebih menguntungkan dibanding dengan bisnis di pasar. Dikisahkan, pada era Abu Bakar pernah terjadi kekeringan dan paceklik. Masyarakat menghadapi situasi sulit karena lahan-lahan mengering, tanaman tidak tumbuh, hujan tidak turun, dan hewan-hewan ternak mati.

Masyarakat mendatangi Abu Bakar mengadukan kondisi hidup mereka seraya berkata, “Apa yang harus kami lakukan?” Abu Bakar menjawab, “Pulanglah dan bersabarlah. Semoga, tidak sampai sore Allah memberikan jalan keluar.”

Saat hari memasuki sore, terdengar informasi bahwa kafilah dagang Utsman bin Affan tiba dari Syam dan memasuki kota Madinah. Kafilah itu membawa 1000 ekor unta yang penuh dengan muatan kebutuhan pokok masyarakat. Kafilah berhenti di depan rumah Utsman dan menurunkan barang-barang dagangan. Para pedagang lainnya pun datang menawar dagangannya: “Kami ingin membeli daganganmu dan menjualnya. Masyarakat sangat membutuhkan barang-barang ini.” Usman bertanya, “Kalian sanggup memberiku keuntungan berapa?” Para pedagang, “Satu dirham dengan dua dirham”. Usman, “Tambahkanlah, beri aku lebih dari itu”.

Para pedagang siap membeli hingga memberi Usman keuntungan lima kali lipat. Tetapi Usman mengatakan bahwa ada yang telah menjanjikan keuntungan lebih dari tawaran mereka. Pedagang-pedagang itu keheranan dan bertanya, “Tidak ada pedagang selain kami di Madinah ini. Tidak ada yang mendahului kami yang menawar daganganmu. Siapa yang berani memberi tawaran lebih tinggi?” Usman menjawab, “Sesungguhnya Allah membeli dariku seharga 10 dirham dari setiap 1 dirham. Satu kebajikan diganti dengan 10 kali lipat. Apa kalian berani memberiku lebih?” Usman melanjutkan, “Aku menjadikan Allah sebagai saksi. Aku sedekahkan semua dagangan ini kepada fakir-miskin Madinah”.

Para sahabat memiliki tekad kuat untuk bersedekah, meskipun mereka tak memiliki uang. Mereka adalah generasi terbaik sehingga kebaikan mereka patut diteladani oleh muslim, baik dalam kapasitasnya sebagai pengusaha yang memiliki harta, maupun muslim biasa dengan harta yang terbatas. Etos sedekah para sahabat Nabi menjadi inspirasi bagi muslim untuk meraih kebaikan hidup.

Wallahu a`lam bishawab

Oleh:
Ustaz Dr. Ahmad Jalaluddin, Lc., MA
Dosen Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

Hikmah Sedekah, Usaha Ibu Riva Makin Berkah

Hikmah Sedekah, Usaha Ibu Riva Makin Berkah

Kalimat “yang muda yang berkarya” rupanya cocok untuk menggambarkan ibu muda asal Sentul, Kota Blitar, Jawa Timur. Riva Redianita Hapsari yang merupakan seorang dokter ini patut disebut tokoh inspiratif sebab kisah hidupnya yang menarik. Di kala pemuda sekarang banyak yang kehilangan semangat mudanya, beliau justru semakin termotivasi menjadi ibu muda yang produktif. Ibu Riva juga dikenal sebagai orang yang dermawan.

Bekerja di salah satu Rumah Sakit Swasta Kota Blitar tidak membuat beliau lepas dari sifat kasih sayangnya. Terlihat dari bagaimana beliau meninggalkan pekerjaannya tersebut demi merawat anak-anak dan keluarganya. Beliau pun mengaku menjadi seorang Full Time Mom menjadi tantangan tersendiri dan membuatnya semakin produktif.

Bulan Februari tahun lalu, beliau resmi membuka usaha bernama “Bakpao Nampol”. Kecintaannya pada produk roti dan bakpao lah yang menginspirasi hal ini. Bakpao yang Ibu Riva ciptakan dibuat sedemikian rupa agar menjadi bakpao premium yang enak dan sehat.Hal ini karena bakpao milik Ibu Riva menggunakan bahan baku tepung terigu dan tepung gandum yang dinilai lebih sehat dan memiliki banyak serat.

Sebab sifat kedermawanannya, Ibu Riva jadi memiliki pandangan yang menarik terkait sedekah. “Semakin pelit, semakin hitungan, maka akan semakin sulit” adalah kata-kata andalannya. Beliau meyakini bahwa apa yang kita beri akan kembali kepada diri kita sendiri. Tidak hanya berupa materi, tetapi kesehatan, kemudahan, anak-anak yang sholeh dan sholehah, serta suami yang sangat menyayangi keluarganya.

Alhamdulillah berkat kerja keras dan konsisten bersedekah, Bakpao Nampol sudah bisa mendirikan outlet pertamanya di Kota Blitar. Selain melayani pembelian langsung, Bakpao Nampol juga telah mengirimkan produk-produknya dalam bentuk frozen food ke luar kota terutama Malang, Surabaya, Jakarta, bahkan sudah sampai ke Papua. Bakpao Nampol juga telah bersinergi bersama LMI dalam kegiatan yatim terdampak banjir bulan November kemarin. MasyaAllah.


Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

Tak Perlu Menunggu Tua untuk Hijrah

Tak Perlu Menunggu Tua untuk Hijrah

Hijrah artinya adalah pindah, yang dalam sejarahnya diartikan sebagai perpindahan kaum muslimin dari Makkah ke daerah lain, baik Habasyah, Thoif, Maupun Yatsrib yang kelak dikenal sebagai Madinah. Peristiwa hijrah yang paling dikenal dalam sejarah Islam adalah hijrah dari Makkah ke Madinah saat kondisi Makkah waktu tidak memungkinkan untuk menyebarkan dakwah Islam. Perintah hijrah waktu itu terasa berat bagi sebagian orang, karena harus meninggalkan keluarga yang tidak seiman, meninggalkan kampung halaman, ternak, ladang dan perkebunan. Hijrah yang demikian merupakan hijrah makani (pindah tempat). Setelah Makkah direbut kembali oleh umat Islam dan penduduknya berbondong-bondong memeluk Islam, kewajiban hijrah makani sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah hijrah maknawi. Rasulullah waktu itu bersabda: لا هجرة بعد الفتح ولكن جهاد ونية Tidak ada kewajiban hijrah setelah fathu Makkah, melainkan kewajiban jihad dan memperbaiki niat. kewajiban hijrah maknawi secara garis besar meliputi dua dimensi, yaitu dimensi ibadah dan dimensi akhlak. Setiap orang harus hijrah, karena setiap orang harus memperbaiki diri dan tidak boleh merasa puas dengan capaian kebaikannya sendiri. Ada kecenderungan bahwa orang enggan untuk berhijrah dan memperbaiki diri saat merasa memiliki waktu yang masih panjang karena usianya masih muda. Seolah mereka mampu membuat perencanaan terhadap umurnya sendiri, masa muda untuk bersenang-senang menikmati hidup, setelah tua baru akan bertaubat dan memperbaiki diri. Padahal siapa yang menjamin bahwa seseorang baru akan meninggal setelah tua?
Sekali-kali cobalah kita hitung siapa saja teman, keluarga dan kerabat yang sudah meninggal sementara usianya lebih muda dari kita. Jumlahnya pasti banyak. Kenapa mereka mendahului kita? Tentu karena umur tidak mengenal urutan usia. Hal yang sama bisa saja kita alami, kita meninggal sebelum orang-orang yang lebih tua dari kita di lingkungan tempat kita tinggal. Hidup ini ibarat melangkahkan kaki di malam yang gelap tanpa cahaya sama sekali. Kita tidak akan menyadari jurang di depan kita yang akan membuat kita terperosok. Kita hakekatnya melangkahkan kaki menuju kuburan, tapi kita tidak tahu tinggal berapa langkah lagi untuk sampai. Jadi, berhijrah dan mempebaiki diri itu harus dilakukan sekarang juga, karena kita tidak tahu apakah kita ini akan mengalami masa tua atau tidak. Bisa saja besok pagi kita sudah tidak ada lagi di dunia ini …. Lalu kapan hijrahnya?
Ustadz Nasiruddin Al Bajuri, S. Ag., M. Th. I. Dewan Pengawas Syariah Laznas LMI — Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank: BSI: 708 2604 191 a.n Lembaga Manajemen Infaq atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425 Konfirmasi: 0823 3770 6554
LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554 SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021 SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019  
Zakat Tabungan – Bagian 2

Zakat Tabungan – Bagian 2

Tiga kegiatan ekonomi yang dianggap penting dalam ekonomi Islam, yaitu konsumsi, distribusi, dan menabung. Menabung atau menyisihkan sebagian pendapatan sebagai perilaku iqtishad (hemat) sangat dianjurkan. Tetapi, kita perlu berhati-hati bila tabungan itu berubah menjadi ‘timbunan’ (kanz). Ibnu Umar r.a. berpendapat, “Harta yang sudah ditunaikan zakatnya tidak disebut kanz (timbunan), meskipun berada di bawah 70 bumi. Dan bila tidak ditunaikan zakatnya, maka disebut kanz, meskipun berada di atas tanah.” Jadi, zakat merupakan pengeluaran minimal bagi harta atau tabungan yang telah mencapai nishab agar tidak disebut timbunan yang diancam dengan siksa yang pedih.
Zakat tabungan dibayarkan selama tabungan memenuhi kriteria wajib zakat. Pertama, tabungan berupa uang, emas, dan/atau perak. Kedua, tabungan itu dimiliki sempurna yang berarti dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya sewaktu-waktu. Ketiga, jumlah tabungan telah mencapai batas minimal (nishab) wajib zakat. Keempat, tabungan memenuhi kriteria haul, yaitu telah tersimpan selama setahun. Besaran untuk masing-masing jenis tabungan (uang-emas-perak) adalah sebesar 2,5%. Dalam penentuan nishab, jenis harta yang berbeda, perhitungan zakatnya tidak disatukan. A. Tabungan di Bank Tabungan di bank umumnya dikhususkan untuk keperluan masa depan, seperti tabungan haji, umrah, walimah, sekolah anak, dan sebagainya. Perhitungan zakatnya, saat akhir haul semua saldo di tabungan itu dijumlahkan dan dikalikan 2,5%. Tabungan giro dan deposito yang dimiliki secara sempurna termasuk dalam jangkauan zakat, meskipun belum bisa dicairkan setiap waktu, tetapi uang dalam tabungan deposito dapat diterima secara utuh saat jatuh tempo. Apabila tabungan, deposito, dan giro berada di bank konvensional, maka zakat dibebankan kepada pokok tabungan. Bunga bank tidak dihitung sebagai harta yang dizakati, tetapi dikeluarkan untuk disalurkan pada pos-pos yang diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Penyaluran Dana yang Tidak Boleh Diakui sebagai Pendapatan (No. 123/2018). B. Safe Deposit Box Safe deposit box merupakan layanan yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah berupa jasa penyewaan tempat penyimpanan barang berharga, diantaranya adalah emas. Apabila yang disimpan berupa emas, maka wajib dibayarkan zakat setelah emas tersebut memenuhi kriteria wajib zakat. Begitupula bila barang berharga yang disimpan adalah logam mulia selain emas seperti permata, berlian, mutiara, dan sebagainya, menurut pendekatan ijmali (global) jenis logam mulia ini termasuk objek zakat. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil zakat yang menyebutkan kata maal (harta) sebagai objek zakat. Selama barang atau benda disebut harta dan bernilai maka menjadi objek zakat. Dalam pelaksanaan pembayaran zakat tabungan, dikarenakan tidak adanya nash atau dalil tertentu yang mengaturnya secara spesifik, sehingga terjadi perbedaan pada metode penghitungan nishabnya. Pertama, metode nishab pada saldo akhir haul. Metode ini menyatakan bahwa zakat tabungan dibayarkan ketika saldo akhir tabungan pada akhir haul memenuhi batas nishab. Meskipun apabila pada awal haul jumlah tabungan belum memenuhi nishab, tetapi penambahan tabungan secara periodik sehingga menjadikannya mencapai nishab di akhir tahun, maka pemilik wajib membayarkan zakatnya sebesar 2,5%. Sebaliknya, jika di awal haul tabungan mencapai nishab tetapi di akhir haul tabungan itu berkurang hingga di bawah batas nishab, maka tidak memenuhi kriteria wajib zakat Kedua, metode saldo terendah. Metode ini meniscayakan kewajiban membayar zakat apabila saldo terendahnya dalam setahun telah melebihi batas nishab. Ketiga, metode saldo rata-rata. Metode ini melihat batas nishab pada nominal saldo rata-rata bulanan. Jika saldo rata-rata telah memenuhi batas nishab, maka tabungan wajib dizakati, meskipun pada awal dan akhir haul saldo tabungan itu tidak mencapai nishab. Ketiga metode di atas adalah pilihan bagi muzakki untuk menunaikan ibadah maliyahnya (harta), dan untuk meraih berkah tambahan akan harta yang dimiliki dari Allah Sang Maha Pemberi Rizki. Wallahu’alam. Oleh: Ustaz Dr. Ahmad Jalaluddin, Lc., MA Dosen Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank: BSI: 708 2604 191 a.n Lembaga Manajemen Infaq atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425 Konfirmasi: 0823 3770 6554
LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554 SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021 SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019
Cara Membersihkan Modal Usaha dari Dana Riba

Cara Membersihkan Modal Usaha dari Dana Riba

Pertanyaan Konsultasi Syariah: “Assalamu’alaikum ustadz, izin bertanya, bagaimana cara membersihkan modal dan aset usaha yang sudah terlanjur dibangun melalui hutang bank dan dana riba? Apakah cukup dengan zakat tahunan?” (Mindi – Banjarnegara) Jawaban: Islam adalah agama yang sempurna dan memahami kondisi fitrah manusia yang cenderung berbuat salah. Allah SWT memberikan kesempatan bagi orang yang berbuat kesalahan untuk memperbaiki kesalahannya dengan cara bertaubat. Dengan bertaubat dari dosa, seseorang dianggap sama dengan orang yang tidak melakukan perbuatan dosa tersebut, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadis riwayat Ibnu Majah, 4250. Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Majah, 2274 Rasulullah menyamakan dosa riba yang paling ringan seperti seorang pria menikahi ibu kandungnya. Hal ini semakin menegaskan bahwa dosa riba sangat serius dan termasuk dosa besar. Namun bagi seorang muslim yang menyadari kesalahannya dan benar benar mau bertaubat, maka Allah SWT tetap membuka lebar pintu ampunan-Nya. Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah: 279 yang artinya: “Maka jika kamu tidak melakukan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Ayat di atas menegaskan bahwa harta maupun usaha yang diperoleh dengan cara riba masih bisa dibersihkan dan disucikan, dengan cara:
  1. Bertaubat dan mengakui atas dosa riba yang telah dilakukan.
  2. Memastikan usaha yang akan dijalankan berikutnya terbebas dari riba
  3. Memberikan sisa riba kepada orang yang membutuhkan
*Penting untuk diketahui, bahwa sisa riba yang diberikan kepada orang yang membutuhkan tidak boleh diklaim sebagai harta zakat, karena zakat hanya diambil dari harta yang halal. Dengan bertaubat, insyaaAllah usaha yang dijalankan kembali bersih, dan semoga mendapatkan barokah dari Allah SWT. Aamiin. Oleh: Ustaz Prof. Dr. H. M. Roem Rowi, MA Ketua Dewan Pengawas Syariah LMI
Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank: 💳 BSI: 708 2604 191 a.n Lembaga Manajemen Infaq atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425 Konfirmasi: 0823 3770 6554
LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554 SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021 SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019
Berlomba – Lomba dalam Kebaikan di Tahun 2023

Berlomba – Lomba dalam Kebaikan di Tahun 2023

Manusia memiliki naluri untuk selalu bersaing dan berkompetisi dengan orang lain. Naluri semacam ini pada dasarnya adalah dorangan nafsu yang sangat besar manfaatnya apabila berhasil diarahkan ke jalan yang baik. Pemanfaatan nafsu di jalan yang benar setidaknya tergambar dalam hadis Rasulullah yang membolehkan iri pada dua orang; yaitu orang kaya yang menggunakan hartanya di jalan yang benar dan orang yang memiliki kebijaksanaan dan mampu mengaplikasikannya dan mengajarkannya. (Sahih Bukhari: 73).

Dalam rangka ‘memanfaatkan’ nafsu tersebut, kita diperintahkan untuk fastabiqul khairat atau berlomba-lomba dalam kebaikan.

Ada banyak perbuatan baik yang bisa dikerjakan. Dimensi kebaikan ini tidak terbatas pada ibadah mahdah semata, melainkan juga ibadah ghairu mahdah dalam berhubungan antara sesama manusia.

Berlomba-lomba dalam kebaikan bermanfaat bagi kita dalam beberapa hal antara lain :

Pertama, membuat waktu tidak terbuang percuma.  Saat berlomba-lomba dalam kebaikan, kita akan fokus pada deretan amalan baik yang hendak kita lakukan. Tidak ada waktu bagi kita untuk bersantai dah tidak melakukan apa-apa. Bagi kita yang gemar melakukan kebaikan akan senantiasa mengisi waktu luang dengan amalan yang diridhoi Allah SWT. Sehingga waktu yang Allah berikan kepada kita  tidak akan terbuang sia-sia.

Kedua, energi kita akan tersalurkan pada Kegiatan yang positif. Ketaatan kita terhadap perintah Allah SWT akan mendorong kita untuk melakukan kegiatan yang positif. Kita akan enggan menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan yang tidak diridhoi Allah.  Sehingga energi yang kita miliki akan senantiasa disalurkan pada amalan-amalan baik. Terbuangnya energi terasa tidak sia-sia, karena perbuatan yang kita lakukan akan mendatangkan manfaat yang besar dan pahala berlimpah.

Ketiga, selamat dari godaan setan. Banyak cara yang dilakukan setan untuk menyesatkan manusia. Salah satunya dengan menggoda dan membisikan perbuatan maksiat kepadanya. Tugas kita untuk meneguhkan keimanan sehingga tidak mudah tergoda oleh bisikan setan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan berlomba-lomba dalam kebaikan.

Marilah kita tanamkan komitmen dalam diri kita masing-masing bahwa di tahun 2023 ini tidak ada hari tanpa berkompetisi dalam kebaikan….
Bismillah …..

—————————-

Ustadz  Nasiruddin Al Bajuri,  S. Ag., M. Th. I.
Dewan Pengawas Syariah Laznas LMI

————————

Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
💳 BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

Zakat Tabungan – Bagian 1

Zakat Tabungan – Bagian 1

Tiga kegiatan ekonomi yang dianggap penting dalam ekonomi Islam, yaitu konsumsi, distribusi, dan menabung. Tiga kegiatan ini didasarkan pada ayat: “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al An`am: 141).

Konsumsi, ditunjukkan oleh perintah, “Makanlah dari buahnya bila dia berbuah”. Distribusi, terkandung dalam perintah, “Tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya”. Sedangkan menabung, tersirat di balik larangan, “Janganlah kamu berlebih-lebihan”. Praktik menabung juga didasarkan pada pengalaman Nabi Yusuf –`alaihissalam- yang termaktub dalam Surat Yusuf ayat 47 “Supaya kamu bertanam tujuh tahun sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya, kecuali sedikit untuk kamu makan”.

Menurut Syekh Sya’rawi –rahimahullah-, ayat ini menyilahkan untuk menikmati sedikit dari hasil panen (usaha) dan menyisihkan sebagiannya untuk disimpan. Allah memberi Yusuf ilmu tentang iqtishad (hemat) dan metode takhzin (penyimpanan) dengan cara membiarkan gandum tetap di bulirnya.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa seorang sahabat berkata, “Ya Rasulallah, sebagai bukti taubatku aku melepas semua hartaku sebagai shadaqah untuk Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah menjawab: “Tahanlah (simpanlah) sebagian hartamu, yang demikian itu lebih baik bagimu.” Ayat dan beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa menyisihkan sebagian pendapatan sebagai perilaku iqtishad (hemat) yang dianjurkan.

Akan tetapi, yang perlu berhati-hati adalah bila tabungan itu berubah menjadi ‘timbunan’ (kanz). Karena menimbun itu buruk, kontra produktif, merusak ekonomi, dan bertentangan dengan maqashidu al maal (tujuan harta): flow concept. “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan): “Inilah hartamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (QS. Al Taubah: 34-35)

Imam Qurthubi –rahimahullah- berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang status harta yang ditunaikan zakatnya. Apakah termasuk timbunan? Ada yang berpendapat “ya” dan ada juga yang berpendapat “tidak”. Ibnu Umar –radhiyallahu `anhuma- berpendapat, “Harta yang sudah ditunaikan zakatnya tidak disebut kanz (timbunan), meskipun berada di bawah 70 bumi. Dan bila tidak ditunaikan zakatnya, maka disebut kanz, meskipun berada di atas tanah.” Jadi, zakat merupakan pengeluaran minimal bagi harta atau tabungan yang mencapai nishab agar tidak disebut timbunan yang diancam dengan siksa yang pedih.

Zakat tabungan berarti zakat yang dibayarkan dari tabungan yang dimiliki selama memenuhi kriteria wajib zakat. Pertama, tabungan berupa uang, emas, dan/atau perak. Kedua, tabungan itu dimiliki sempurna yang berarti dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya sewaktu-waktu. Ketiga, jumlah tabungan uang, emas, perak telah mencapai batas minimal (nishab) wajib zakat, yaitu untuk emas sejumlah 85 gram; uang senilai dengan 85 gram emas; dan perak mencapai 595 gram. Keempat, tabungan memenuhi kriteria haul, yaitu telah tersimpan selama setahun. Besaran untuk masing-masing jenis tabungan (uangemas-perak) adalah sebesar 2,5%. Dalam penentuan nishab, jenis harta yang berbeda tidak disatukan. Nishab emas berbeda dengan nishab perak, dengan demikian keduanya tidak digabung.

Adapun tabungan emas dan uang, sebagian ulama berpendapat kedua digabung mengingat terdapat kesamaan nishab dan kadar zakat yang dibayarkan. Tetapi ulama lain berpandangan bahwa zakat emas dan zakat uang dibayarkan tersendiri, tidak digabung.

Bersambung ke part 2 dalam Rubrik bulan Januari, ya!

Oleh:
Ustaz Dr. Ahmad Jalaluddin, Lc., MA
Dosen Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

————————

Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
💳 BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

 

Menjaga diri dan Keluarga dari Asupan Non Halal

Menjaga diri dan Keluarga dari Asupan Non Halal

Semua perintah Allah mengandung hikmah tasyri’, termasuk larangan mengkonsumsi makanan non halal, baik haram maupun syubhat. Makanan haram adalah makanan yang tidak boleh dikonsumsi baik karena dzatnya, maupun cara yang salah dalam mendapatkan dan menyajikannya. Sedangkan syubhat lebih terkait dengan cara mendapatkan, yang masih bercampur antara cara yang halal dengan cara yang haram.

 

Sedikitnya ada empat bahaya yang ditimbulkan dari asupan non halal.

Pertama, energi tubuh yang lahir dari asupan non halal lebih condong pada kemaksiatan dan terasa malas untuk beribadah. Jika asupan non halal itu diberikan kepada keluarga, maka kecil kemungkinan mereka menjadi orang yang shaleh.

Kedua, do’anya sulit diterima. Berdo’a itu butuh kesucian jiwa, setidaknya saat memanjatkan do’a tidak sedang membawa noda dalam dirinya. Orang yang mendapat asupan non halal akan selalu membawa noda itu kemanapun dia pergi. Sehingga do’anya sulit untuk diterima.

Ketiga, sulit menerima ilmu Allah. Ilmu Allah adalah cahaya, sedangkan cahaya tidak akan diberikan kepada ahli maksiat. Anak yang mendapatkan asupan non halal bisa saja pandai, tapi sulit mendapatkan ilmu yang mendorang pada kebaikan dan kedekatan kepada Allah.

Keempat, ancaman keras berupa siksa api neraka. Rasulullah saw  bersabda: “Setiap daging dan darah yang tumbuh dari perkara haram, maka neraka lebih utama terhadap keduanya,” (HR Al-Thabrani).

Pada suatu hari, Abu Bakar dibawakan makanan oleh pelayannya. Beliau pun menyantapnya. Pelayan itu berkata, “Apakah engkau tahu makanan itu? Abu Bakar menjawab, “Memangnya makanan apa itu? Pelayan itu berkata, “Pada zaman Jahiliah aku biasa meramal untuk seseorang. Aku sendiri tak mumpuni soal ramalan, sehingga aku sering mengelabuinya. Saat itu dia  datang menemuiku dan memberiku makanan itu. Dan makanan itu pula yang engkau makan saat ini.” Mendengar demikian, Abu Bakar langsung memasukkan jarinya (ke mulut), dan memuntahkan semua yang sudah masuk ke dalam perutnya (HR Al-Bukhari).

Sudah halalkah makanan kita?
—————————-

Ustadz  Nasiruddin Al Bajuri,  S. Ag., M. Th. I.
Dewan Pengawas Syariah Laznas LMI

————————

Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
💳 BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

Semangat untuk Ibadah

Semangat untuk Ibadah

Setiap hari kita melakukan ibadah, baik ibadah murni (mahdah) seperti shalat dan puasa, maupun ibadah yang tidak murni (ghairu mahdah) seperti bekerja untuk mencari nafkah yang halal dan membantu orang lain. Ibadah dengan berbagai macam ragam dan bentuknya, memiliki satu tujuan utama yaitu mendekatkan diri kepada Allah swt.

Apakah setiap ibadah pasti mendekatkan diri kita kepada Allah? Belum tentu. Tergantung bagaimana kita melakukannya, sudah benar atau tidak. Juga tergantung keadaan hati kita saat itu, benar-benar ikhlas karena Allah atau ada tujuan lain yang menyelinap dalam hati.

Pada umumnya, besar kecilnya nilai ibadah tergantung berat tidaknya ibadah itu ketika dilaksanakan. Rasulullah saw pernah berpesan kepada Fatimah ra: “kadar pahala yang akan kau dapatkan, tergantung kadar lelah yang kau rasakan”. Jadi ibadah yang terasa berat, seperti tahajud dalam keadaan sangat mengantuk, pahalanya lebih besar daripada saat tidak mengantuk. Sedekah dalam keadaan sulit, lebih besar pahalanya daripada sedekah dalam keadaan mudah. Begitu seterusnya.

Meskipun demikian, kita tidak boleh meremehkan amalan dan ibadah yang ringan dan sederhana. Kenapa? Karena kita tidak tahu, ibadah yang mana dari diri kita yang membuat Allah ridha. Bisa jadi Allah lebih ridha ketika kita melakukan ibadah-ibadah yang dianggap remeh orang lain. Dalam beberapa kesempatan Rasulullah menceritakan ada orang yang masuk surga hanya karena menolong seekor anjing, memberikan makan seekor kucing, dan menyelamatkan seekor burung. Kenapa bisa terjadi? Mungkin saat melakukan hal sederhana itulah hatinya sangat ikhlas sehingga Allah ridha.

Ikhlas dalam beribadah itu seperti apa? Secara sederhana, ketika kita melakukan suatu ibadah, hati kita merasa senang, tidak ada beban dan perasaan terpaksa, maka kita sudah ikhlas. Ketika tiba waktunya shalat jama’ah, Rasulullah saw  mengatakan kepada sahabat Bilal, “senangkan kami wahal Bilal!”, maksudnya, kumandankanlah iqamah. Rasulullah senang ketika melakukan shalat.

Bagaimana dengan kita? Jika kita masih menganggap ibadah itu sebagai beban maka kita tidak akan melakukannya dengan senang hati. Tapi ketika kita sudah menganggapnya sebagai kebutuhan, maka kita tidak hanya akan merasa senang, tapi sekaligus menikmatinya.

Lakukan ibadah dengan senang hati, karena bisa jadi itu ibadah terakhir kita. Jangan meremehkan ibadah yang sederhana, karena bisa jadi ibadah itulah yang mengantarkan kita pada ridha-Nya.
—————————-

Ustadz  Nasiruddin Al Bajuri,  S. Ag., M. Th. I.
Dewan Pengawas Syariah Laznas LMI

————————

Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
💳 BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019