Istiqomah Ibadah Setelah Ramadhan

Istiqomah Ibadah Setelah Ramadhan

Bulan Ramadhan memang sudah selesai, tapi bukan berarti ibadah yang biasa dilakukan di bulan ramadhan juga ikut selesai. Justru salah satu tanda diterimanya ibadah di bulan Ramadhan adalah ketika ibadah tersebut masih terus berlanjut setelah ramadhan. Di bulan Ramadhan kita selalu melaksanakan shalat tarawih, maka di luar ramdhan kita lanjutkan dengan qiyamul lail. Begitu pula dengan ibadah lain, seperti membaca al-Qur’an, bersedekah, berpuasa, dan lain sebagainya harus tetap kita pertahankan setelah Ramadhan usai.

Ada sebagian orang yang salah faham dengan menganggap bahwa ibadah di bulan syawal seharusnya lebih meningkat daripada bulan Ramadhan. Tentu tidak harus demikian. Hampir bisa dikatakan tidak mungkin ada orang yang ibadahnya di bulan syawal lebih baik daripada bulan Ramadhan. Ramadhan itu ibarat bulan pelatihan, yang menuntut agar ibadah kita sesuah Ramadhan lebih baik daripada sebelum Ramadhan. Jadi perbandingannya adalah bulan Sya’ban dan bulan Syawal. Ramadhan sudah bisa dikatakan berhasil ketika ibadah kita di bulan syawal mengalami peningkatan daripada di bulan Sya’ban.

Ibadah yang paling disukai oleh Allah swt adalah ibadah yang dilakukan dengan istiqamah.
Rasulullah saw bersabda:
“sebaik-baik amal adalah yang dilakukan secara istiqamah, meskipun sedikit”.

Oleh karena itu penting menanamkan komitmen dalam hati untuk selalu mengistiqamahkan ibadah setelah ramdhan. Puasa sunnah, shalat berjama’ah, shalat sunnah, membaca al-Qur’an dan bersedekah harus tetap menjadi rutinitas kita setelah Ramadhan.

Ramadhan juga melatih kita untuk berhati-hati. Kita masih ingat ketika berkumur satu kali di siang hari bulan Ramadhan, kita meludahkannya beberapa kali untuk memastikan tidak ada air setetespun yang masuk ke dalam tenggorokan. Padahal meskipun menelannya tidak ada orang lain yang dirugikan dan tidak ada orang yang tahu, tapi kita tetap tidak berani melakukan karena yakin bahwa Allah swt melihat kita. Jika sikap hati-hati seperti ini dapat kita aplikasikan dalam tindakan yang lebih luas, tentu tidak akan ada sesuap pun makanan haram yang masuk ke dalam perut kita.

Jika ada orang yang berpuasa namun masih korupsi, menipu dan memperdaya orang lain maka sebenarnya dia tidak pernah berpuasa, dia hanya tidak makan dan tidak minum.
Rasulullah saw bersabda:
“Banyak orang yang berpuasa namun hanya mendapatkan haus dan dahaga”

Semoga puasa kita benar-benar bermakna.
—————————————-

Ustadz  Nasiruddin Al Bajuri,  S. Th.I, M.Ag
Dewan Pengawas Syariah Laznas LMI


Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

Pendidikan Karakter Anak Dimulai dari Rumah

Pendidikan Karakter Anak Dimulai dari Rumah

Apakah kita merasa heran, bila ada anak-anak yang telah bersekolah di institusi islami dengan biaya mahal dan diasuh ustadz ustadzah terbaik; tetapi masih belum menghasilkan karakter yang memuaskan? “Pesantrennya terkenal menghasilkan huffadz. Kok anakku gak semangat menghafal Quran? Jangankan hafal Quran, sholat aja malas.” “Katanya sekolah Islam itu terkenal disiplin, tapi anakku masih aja gak mandiri.” “Padahal bayarannya mahal lho, kok anakku gak berkembang character buildingnya?” Sebagus apapun sebuah sekolah, tak dapat mengalahkan pendidikan utama dari rumah. Sekolah boleh ternama, mahal, bergengsi; namun cetakan pertama tentu dari rumah.
Memang, sekolah turut membentuk karakter seorang anak, namun tak sampai seratus persen. Bahkan, bila pendidikan anak di rumah dan sekolah bertentangan, akan menghasilkan cetakan yang berantakan. Indonesia mencanangkan 18 pendidikan karakter yang perlu didapatkan seorang anak. Delapan Belas tersebut adalah : religius, jujur, toleransi, kerja keras, disiplin, kreatif, mandiri demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi; hingga tanggung jawab. Ambil salah satu contoh : karakter religius. Religiusitas tidak bisa didapat hanya di sekolah atau pondok pesantren. Di sekolah misalnya, anak hanya belajar sholat dzuhur dan ashar berjamaah. Bagaimana subuh, maghrib, dan isya? Baiklah, bila di pondok pesantren akan belajar sholat lima waktu, namun ia tidak selamanya berada di lingkungan yang mendukung. Rumah tetaplah menjadi pondasi awalnya. Dalam perkara sholat, terkandung banyak sekali pelajaran. Ambil contoh sholat subuh. Bagaimana seorang anak harus terbiasa melawan kantuk, menahan hawa dingin, tidur terjadwal, bangun secara mandiri. Ayah dan ibulah teladan bagaimana anak-anak berkembang. Bila pendidikan macam itu hanya didapatkan di pondok, maka anak hanya akan baik saat berada di pondok tetapi tidak demikian saat di rumah. Berawal dari yang Kecil Kebiasaan kecil di rumah akan terbawa hingga ke luar. Bila di rumah dibiasakan disiplin terkait kepemilikan, misalnya, anak tidak akan terbiasa ghasab alias meminjam tanpa izin. Orangtua mungkin merasa ,”antar saudara kan gak papa pinjam meminjam?” Tentu, sesama saudara wajib saling membantu. Namun, jika orangtua lupa menjelaskan bahwa hal ‘pinjam meminjam’ itu pun ada aturannya; kebiasaan tersebut terbawa hingga ke luar rumah. Pinjam pensil, buku, alat sholat dan seterusnya. Sekali dua kali mungkin tak mengapa. Bila berulangkali dan yang terpatri di benak anak-anak adalah, “…ah, nanti pinjam charger temanku aja. Kan dia pasti bawa,” ; maka perilaku pinjam meminjam beralih menjadi karakter yang tidak mandiri. Selalu mengandalkan orang lain untuk mengatasi masalah. Banyak sekali hal kecil yang merupakan perilaku sehari-hari di rumah, menjadi kebiasaan yang menempel di diri seorang anak dan susah untuk dilepaskan. Kebiasaan bicara jorok, kebiasaan agresif, kebiasaan menunda pekerjaan, kebiasaan tidak mandiri dst. Orang tua perlu kembali melihat perilaku anak-anak yang bersumber dari kebiasaan kecil ini dan mulai menjadwalkan kedisiplinan. Bercita-cita Besar Kita semua berharap, anakanak tumbuh menjadi pribadi yang membanggakan. Bercita-cita menjadi pemimpin bangsa, ulama besar, pengusaha sukses, pemilik perusahaan, politikus tangguh, traveller mancanegara sekaligus pendakwah, youtuber dengan subscriber jutaan dan seterusnya. Cita-cita besar ini tidak cukup hanya diperoleh dari mata pelajaran dan mata kuliah di sekolah atau kampus. Rumah harus menjadi markas utama yang akan mendidik anak-anak kita melakukan kebiasaan-kebiasaan kecil yang bermanfaat hingga menjadi perilaku disiplin yang memiliki target besar. Cita-cita besar harus memiliki pondasi kuat. Mengapa harus meraihnya, bagaimana prosesnya, sejauh mana ujian yang menghadang dan seperti apa individu harus luwes menghadapi tantangan. Ayah dan ibu diharapkan hadir di sini untuk terus memompa semangat Ananda, memberikan contoh melalui serangkaian proses. “Nak, kamu berbakat jadi pebisnis kayak Sandiaga Uno, lho. Kamu kan pintar jualan.” Maka Ananda akan belajar berbisnis kecil-kecilan, semisal jualan kue ke temantemannya. Apa tantangannya? Banyak sekali! Mulai dari dagangan tidak laku, pembayaran yang tidak berjalan, sampai teman-teman meminta diskonan. Anak mungkin merasa tak mampu menghadapi sikap teman-temannya yang menuntut gratisan atau kondisi merugi. Di situlah orangtua akan membantu Ananda agar ia mulai belajar berkomunikasi sebagai pebisnis, bukan hanya bisa berdagang saja. Begitupun, jika Ananda memiliki sederet cita-cita yang lain. Tanpa pendidikan yang kuat dari rumah; mustahil jalan panjang menuju kesuksesan akan terbangun. Semoga Ayah dan Bunda senantiasa mendapatkan rahmat dan bimbingan Allah Swt. —————————————- Bunda Sinta Yudisia Penulis, orang tua, dan pemerhari anak & remaja — Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank: BSI: 708 2604 191 a.n Lembaga Manajemen Infaq atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425 Konfirmasi: 0823 3770 6554 — LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554 SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021 SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019
Nishab dan Haul Zakat Maal – Bagian 2

Nishab dan Haul Zakat Maal – Bagian 2

Secara prinsip, untuk jenis harta yang mensyaratkan haul, pembayaran zakat ditunaikan di saat haul (telah mencapai masa kepemilikan selama 1 tahun). Madzhab Malikiyah tidak membolehkan menunaikan zakat sebelum masuk haul. Tetapi kebanyakan ulama membolehkan praktik menyegerakan (tajil, membayarkan zakat lebih awal sebelum masuk haul), utamanya bila terdapat mashlahah. Bila ada orang fakir yang terdesak oleh kebutuhannya, atau terjadi bencana alam yang merusak kekayaan masyarakat, dibolehkan membayarkan zakat kepada mereka, meskipun belum masuk haul. Kebolehan tajil ini didasarkan pada riwayat Ali ra yang bercerita bahwa Al-Abbas ra bertanya kepada Rasulullah apakah boleh menunaikan zakat sebelum waktunya? Rasulullah saw membolehkan (HR. Abu Dawud dan Turmudzi). Apabila muzakki menetapkan bahwa batasan haul bagi hartanya antara bulan Muharram hingga Muharram di tahun berikutnya, bagaimana dengan harta yang diperoleh pada bulan Rajab, atau Syawal? Apakah menunggu hingga genap berusia setahun? Pada kasus ini, jenis harta yang diperoleh di pertengahan haul dibedakan sebagai berikut: Pertama, harta sebagai hasil, laba, atau keuntungan dari harta pokok yang telah ditetapkan awal haulnya. Terhadap hasil, laba, atau keuntungan dari pengelolaan harta pokok, perlakuannya adalah semuanya dianggap sebagai satu harta dengan harta pokok. Artinya hasil, laba, keuntungan tidak disyaratkan haul secara mandiri, tetapi mengikuti haul dari harta pokok. Kedua, harta yang diperoleh antara dua batas (misal pada Rajab atau Syawal) dan tidak ada hubungan dengan harta pokok yang telah ditetapkan awal dan akhir haulnya, maka muzakki diberi pilihan: (a) menggabungkan harta baru dengan harta awal sehingga dianggap sebagai kesatuan harta. Pilihan ini lebih mashlahah bagi mustahik dan memudahkan muzakki karena tidak disibukkan menghitung usia masing-masing harta yang diperoleh pada bulan-bulan yang berbeda; (b) pilihan kedua, menjadikan untuk masing-masing harta batas haul tersendiri. Ulama sepakat bahwa apabila keseluruhan harta rusak atau hilang di pertengahan haul, seperti apabila di Muharram tersedia emas 100 gram dan terjadi musibah di Syawal yang menghabiskan semua emas simpanan, maka periode haul terputus. Penetapan awal haul akan dihitung ulang di saat harta kembali mencapai nishab. Tapi, apabila berkurangnya nishab terjadi pada sebagian harta, bukan keseluruhannya, ulama berbeda pendapat. Menurut mayoritas ulama bahwa berkurangnya sebagian harta di pertengahan haul menjadikan terputusnya haul, seperti bila di awal haul (Muharram) terdapat 100 juta kemudian berkurang menjadi 70 juta di Syawal, maka haul terputus dan tidak ada kewajiban zakat. Bila pada Dzulqa’dah uang kembali menjadi 100 juta, maka dilakukan penghitungan ulang awal nishab. Pendapat ini melihat fakta bahwa zakat diwajibkan karena mencapai nishab. Apabila nishab berkurang, maka tidak ada kewajiban zakat, sebagaimana hal saat semua harta hilang/habis. Hanafiyah memiliki pandangan berbeda, bahwa yang menjadi patokan nishab adalah awal dan akhir haul. Apabila di pertengahan haul harta berkurang, maka tidak mempengaruhi kewajiban zakat. Bagi Hanafiyah, bertambah atau berkurangnya harta adalah keniscayaan, maka mensyaratkan tetapnya nishab sepanjang tahun (haul), akan menyulitkan dan menghilangkan potensi zakat. Ketentuan dasar pandangan Hanafiyah adalah bila di awal tahun harta mencapai nishab (sebagai sebab kewajiban) dan di akhir haul juga tersedia nishab (sebagai kewajiban pembayaran), maka berkurangnya nishab di pertengahan tidak berpengaruh terhadap kewajiban zakat. Perbedaan pendapat juga terjadi ketika pemilik meniatkan hak miliknya sebagai barang dagangan, kemudian di pertengahan haul pemilik berubah niat: tidak menjualnya tetapi untuk kepentingan pribadi. Pendapat pertama memandang terputusnya haul harta dagang, dengan demikian tidak termasuk yang dihitung sebagai bagian nishab barang dagangan. Pendapat kedua, melihat perubahan niat penggunaan tidak mengubah status barang sebagai barang dagangan. Ragam kasus yang berhubungan dengan haul cukup banyak dan menjadi area perbedaan ulama. Ragam pendapat ulama ini menunjukkan keluwesan hukum Islam, mengingat tidak ada dalil spesifik yang mengaturnya. Muslim diperkenankan memilih pendapat yang diyakininya tetapi dengan catatan: tidak dalam rangka mencari peluang menghindari kewajiban zakat. Allah SWT Maha Tahu hati hambaNya yang berkeinginan untuk menunaikan zakat, dan hati hamba-Nya yang ingin menghindari kewajiban zakat. Wallahu a`lam bisshawab

Oleh: Ustaz Dr. Ahmad Jalaluddin, Lc., MA Dosen Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank: BSI: 708 2604 191 a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554 SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021 SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

Puasa Sunnah Syawal

Puasa Sunnah Syawal

Puasa syawal adalah puasa sunnah enam hari yang dilakukan setelah berpuasa di bulan suci Ramadan. Puasa ini memiliki keistimewaan yang setara dengan berpuasa setahun.

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka diibaratkan seperti berpuasa setahun penuh.”.

Selain keistimewaan di atas, puasa syawal ini sebagaimana puasa sunnah lainnya merupakan penyempurna terhadap puasa wajib. Sekiranya di bulan Ramadhan kemarin kita kurang bisa menahan diri dari perbuatan yang dapat merusak pahala puasa, maka alangkah lebih baiknya kita menyempurnakannya dengan puasa syawal ini. Seperti halnya shalat sunah rawatib yang mampu menutupi kekurangan dalam shalat wajib. Yang dimaksud kekurangan di sini adalah kekurangan dalam kesempurnaan ibadahnya, bukan kekurangan dalam bilangannya.

Puasa Syawal juga merupakan Indikator diterimanya amalan selama bulan Ramadan, karena sejatinya Allah selalu memberi hidayah bagi hambaNya yang melakukan kewajiban. Seorang hamba yang berpuasa selama bulan Ramadan dengan baik dan ikhlas, maka Allah akan membuatnya ketagihan untuk berpuasa sunnah di bulan syawal dan menjaga kebaikan yang telah ada.

Puasa syawal juga merupakan wujud syukur, sekaligus menjadi bukti kokohnya iman seseorang. Dengan puasa syawal, ia membukatikan dirinya sebagai hamba yang istiqamah, bukan hamba musiman yang hanya beribadah di bulan ramadhan. Bukan juga hamba yang labil, yang enggan melakukan amal karena beratnya kewajiban sebelumnya. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa syawal hakekatnya ia mempertahankan ketangguhannya di jalan Allah.

Semoga tahun depan kita mendapat kesempatan lagi untuk bertemu dengan bulan Ramadhan. Amin.

—————————————-

Ustadz Nasiruddin Al Bajuri, S. Th.I, M.Ag
Dewan Pengawas Syariah Laznas LMI


Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

Urgensi Mengimani Takdir Bagi Muslim

Urgensi Mengimani Takdir Bagi Muslim

Di antara rukun iman adalah meyakini bahwa segala yang terjadi, baik dan buruknya adalah atas kehendak Allah SWT. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa Allah meridhai keburukan, juga tidak berarti bahwa Allah memerintahkan perbuatan maksiat. Keburukan dan perbuatan maksiat tidak akan terjadi jika Allah tidak menghendakinya. Seandainya terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah, hal itu menunjukkan bahwa Allah lemah, padahal sifat lemah bagi Allah adalah mustahil.

Meskipun segala sesuatu ditentukan oleh Allah, bukan berarti manusia tidak memiliki kehendak sama sekali sebagaimana yang difahami oleh kelompok Jabariyah. Jabariyyah mengatakan bahwa manusia itu seperti bulu di udara yang tidak memiliki ikhtiar sama sekali. Bukan pula kehendak manusia menentukan segalanya sebagaimana pemahaman kelompok Qadariyyah. Mereka mengatakan bahwa Allah menghendaki kebaikan untuk semua hamba, akan tetapi sebagian hamba berbuat maksiat dan mengalahkan kehendak Allah secara paksa.

Pemahaman yang benar sebagaimana diajarkan oleh Ahlussunnah adalah bahwa manusia memiliki kehendak dan ikhtiar, akan tetapi kehendak mereka di bawah kehendak Allah, yang dikenal dengan istilah iradah juz’iyah. Dengan pemahaman seperti ini kita akan memiliki sifat optimis dan terus berusaha memperbaiki kehidupan, baik kehidupan duniawi maupun ukhrawi, karena didorong keyakinan bahwa Allah menghargai usaha kita. Bahkan Allah bisa berkenan merubah ketetapa-Nya dengan doa kita. Dengan pemahaman ini pula kita tidak akan larut dalam kesedihan berkepanjangan ketika sesuatu yang kita inginkan tidak tercapai, karena kita yakin bahwa Allah-lah yang akan memutuskan dan keputusan Allah adalah yang terbaik.

Gusdur pernah bercerita bahwa dia sempat ditolak ketika dahulu melamar sebagai dosen di IAIN Sunan Ampel karena ijazahnya tertinggal di Baghdad, Irak. Saat itu ia sedih karena merasa keinginannya tidak tercapai. Lambat laun dia menyadari bahwa penolakannya waktu itu memang kehendak Allah karena Allah merencanakan sesuatu yang lebih besar dan lebih bermaslahat. Gusdur berseloroh, “seandainya saya diterima sebagai dosen, saya tidak mungkin menjadi presiden”.

Tetaplah ikhtiar maksimal, iringi dengan do’a, hasilnya Allah yang menentukan dan takdir Allah pastilah yang terbaik.

—————————-

Ustadz Nasiruddin Al Bajuri, S.Th. I, M. Ag.
Dewan Pengawas Syariah Laznas LMI