Wakaf Untuk Ibu, Kisah Teladan dari Sa’ad bin ‘Ubadah

Wakaf Untuk Ibu, Kisah Teladan dari Sa’ad bin ‘Ubadah

Sobat, pernahkah kalian mendengar kisah salah satu sahabat Nabi yang dikenang dengan wakafnya ini? Beliau bernama Sa’ad bin ‘Ubadah bin Dulaim, sahabat Nabi dan tokoh pemimpin Bani Khazraj dari Madinah. Ia merupakan salah satu kaum Anshar yang melakukan Bai’at ‘Aqabah kepada Nabi Muhammad dan selalu mendukung perjuangan dakwah Nabi.

Sa’ad adalah sosok teladan yang berbakti dan senantiasa berusaha untuk terus berbakti kepada orang tuanya secara maksimal. Namun, betapa sedihnya ia dikala sang Ibundanya wafat. Ia tak bisa berada di samping ibunya sebab saat itu beliau tengah berjuang membersamai Rasulullah di perang Dumatul Jandal.

Sesaat setelah kembali ke Madinah, Rasulullah menerima permintaan Sa’ad untuk menyolatkan jenazah Ibunya walau telah lewat sebulan semenjak ibunya wafat. Sa’ad bertanya kepada Rasulullah “Ibu saya telah wafat tapi dia tidak mewasiatkan apapun kepada saya. Bolehkan saya bersedekah atas nama beliau dan apakah itu bermanfaat untuknya?” Rasulullah menjawab, “Iya” Lalu Sa’ad bertanya kepada Rasul tentang apa yang paling disukai Rasulullah? Rasulullah meminta Sa’ad untuk menyediakan air minum karena masa itu tengah terjadi krisis air.

Setelah mendengar perkataan Rasulullah, apa yang dilakukan Sa’ad? Atas nama Ibunya, Sa’ad segera menggali sumur yang dari dalamnya mengalir air sehingga dapat memberi minum masyarakat sekitar yang saat itu tengah kekurangan air. Di lain waktu, atas nama Ibunya pula, Sa’ad bersedekah dengan memberikan kebunnya dan Rasulullah menjadi saksinya. Masyaallah. Demikianlah kisah Sa’ad bin ‘Ubadah bin Dulaim.

Dua keteladanan darinya yang dapat kita ambil, yaitu baktinya kepada sang ibu, serta wujud cinta yang diekspresikan dengan luar biasa yakni dengan menganugerahkan pahala yang tak akan putus mengalir.

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, doa anak yang sholeh.” (HR. Muslim)

—–

Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui transfer bank:
BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

Bagaimana Zakat pada Masa Rasulullah SAW?

Bagaimana Zakat pada Masa Rasulullah SAW?

Era kenabian disebut `ahdu tasyri`, yaitu era penetapan hukum. Rasulullah diutus oleh Allah untuk menyampaikan dan mengajarkan ketetapan hukum Allah kepada manusia, termasuk hukum zakat. Pada fase Makkiyah, turun beberapa ayat yang menyebutkan kata zakat, di antaranya Al-Muzammil: 20, Al-Ma’arij: 24-25, Al-Mukminun: 4, Al-Rum:39, Fushilat: 6-7. Sehingga pada dasarnya zakat telah diwajibkan secara global saat Rasulullah memulai dakwahnya di Mekkah yang pemberlakuannya didasarkan pada kesadaran orang-orang kaya. Adapun pada fase Madinah, ketetapan zakat bersifat rincian (tafshili) dan menggunakan pendekatan kekuasaan. Peran Rasulullah dalam hukum zakat adalah menegaskan, menjelaskan, merinci, dan membatasi ayat-ayat tentang zakat. Al-Qur`an menyebutkan beberapa ayat global tentang zakat, kemudian hadits Rasulullah menjelaskan ayat-ayat itu. Rasulullah menegaskan kewajiban zakat, menempatkannya sebagai bukti iman (Al-Mukminun: 4), dan menjadikannya sebagai bagian bagunan Islam (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Islam tidak lengkap tanpa zakat atas yang mampu. Muslim tidak sempurna imannya tanpa menginfakkan sebagian hartanya (Al-Baqarah: 3). Bangunan Islam dalam diri muslim yang kaya akan runtuh bila meninggalkan zakat. Muslim akan meraih kebajikan sempurna (al-birr) dengan zakat yang ditunaikannya (Al-Baqarah: 177). Serta peringatan bagi yang enggan menunaikan zakat akan disetrika punggung dan lambungnya dengan api neraka (HR. Muslim: 987)
Pada era risalah, Rasulullah merinci zakat menjadi dua jenis, yaitu zakat fitrah dan zakat maal (harta). Tentang zakat fitrah, Rasulullah menyebutkan hadits yang berisi jenis, fungsi, dan waktu mengeluarkannya. Sedangkan Rincian zakat maal dijelaskan oleh Rasulullah SAW saat di Madinah. Beberapa riwayat hadits menambahkan rincian jenis harta yang menjadi objek zakat. Al-Qur`an menyebutkan beberapa objek zakat maal, diantaranya emas dan perak (Al-Taubah: 34), hasil bumi (Al-Baqarah: 267), hasil usaha (Al-Baqarah: 267), hasil pertanian (Al-An`am: 141). Era tasyri` juga ditandai dengan penetapan sasaran zakat. Al-Qur`an menyebutkan 8 golongan yang berhak menerima zakat. Ayat At-Taubah 60 menjadi acuan rincian mustahik atau penerima zakat, yaitu para fakir, miskin, amil zakat, muallaf, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan. Ajaran penting yang ditegaskan oleh Rasulullah sebagai penunjang sukses zakat adalah etika amil. Setiap amil diharuskan komitmen pada arahan wahyu dan mengesampingkan nafsu. Rasulullah mengingatkan, “Kalian akan melihat ‘atsarah’ (sikap mementingkan diri, golongan) dan kasus-kasus yang kalian mengingkarinya”. Dalam situasi seperti itu, Rasulullah berpesan kepada amil, “Tunaikanlah kepada mereka hak-haknya dan mintalah hak kalian kepada Allah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Beliau mencontohkan, bahwa kedudukan beliau terhadap zakat hanyalah qasim (seorang pembagi). Karena itu beliau menyampaikan, “Sungguh, aku memberi seseorang (zakat) atau tidak memberinya (bukan karena nafsu). Aku hanya pembagi yang membagi sesuai yang diperintahkan” (HR. Al-Bukhari). Pada era Madinah, zakat dibayarkan oleh para sahabat kepada Rasulullah atau para sahabat yang mendapat mandat dari Nabi. Praktik ini menegaskan pola kelembagaan dalam pembayaran zakat sebagai implementasi dari ayat Al-Taubah: 103 yang secara redaksi ditujukan kepada Rasulullah (khudz min amwalihim) tetapi pemberlakuannya tidak terbatas pada era nabi dan hanya untuk nabi. Melainkan berlakuuntuk semua umat dan para pemimpin pasca kepemimpinan nubuwwah. Sehingga amil zakat bukanlah personal melainkan lembaga yang berwenang mengelola zakat masyarakat. Nilai etis lain yang mengikat amil adalah kesadaran bahwa lembaga zakat merupakan ruang bina diri dan uji diri. Pekerjaan amil merupakan ujian kualitas keimanan sebagaimana Rasulullah mengajarkan, “Barangsiapa mengambil harta orang lain dan berniat menunaikan harta itu, maka Allah membantu menunaikan amanahnya. Barang siapa mengambil harta orang lain dengan niat merusaknya, maka Allah merusaknya” (HR. Al-Bukhari). Zakat di era tasyri` telah ditetapkan kewajibannya, jenis-jenis objeknya, kadar nishab dan besaran kewajibannya, serta pihak yang berhak menerima distribusinya. Rasulullah juga mengajarkan kode etik pengelola zakat sehingga amanah dan terarah sasaran distribusinya. Zakat disyariatkan sebagai saluran distribusi kekayaan. Sebagaimana terjadi di zaman Rasulullah, bahwa beliau menjadi jembatan (qasim, pembagi, amil) antara para sahabat yang kaya dengan sahabat yang hidup kekurangan. Oleh: Ustaz Dr. Ahmad Jalaluddin, Lc., MA Dosen Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Sobat zakat, yuk tunaikan zakat maal dan zakat fitrah di bulan Ramadhan 1444 H ini melalui LMI!
Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui transfer bank: BSI: 708 2604 191 a.n Lembaga Manajemen Infaq atau klik: https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425 untuk sedekah https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1177 untuk zakat penghasilan https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1405 untuk zakat fitrah Konfirmasi: 0823 3770 6554
LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554 SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021 SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019
Level Ikhlas Manusia

Level Ikhlas Manusia

“Ghanimah, ghanimah..”, ucap beberapa sahabat Rasulullah saat kaum Quraisy melarikan diri di perang Uhud. Teriakan sukacita akan adanya harta rampasan perang itu pun terdengar oleh pasukan pemanah yang ditugaskan tetap berada di atas bukit Ar Rumah. Alhasil ada sebagian pasukan pemanah yang tertarik akan kepemilikan harta perang tersebut hingga dalam kisahnya 40 orang pasukan pemanah turun dari posisinya. Kesempatan ini terlihat oleh Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal untuk merebut posisi strategis tersebut. Akibatnya, kaum muslimin menjadi kocar kacir, bahkan Rasulullah terdesak dan hampir terbunuh.

Memang, alasan yang nampak sebagai penyebab serinya Perang Uhud ini adalah ketidaktaatan pasukan pemanah yang meninggalkan posisinya. Namun, saat kita ambil sudut pandang lainnya, stimulan kejadian tersebut adalah adanya kecintaan yang berlebih terhadap kepemilikan harta dibanding janji Allah dan Rasulullah. Nah, jika dikaitkan akan skala prioritas mana yang didahulukan antara janji Allah dan Rasulullah dengan iming-iming keindahan harta dunia.

Pembahasan hal ini adalah masuk ranah keikhlasan, yakni bagaimana niat seseorang dalam melakukan sesuatu. Bisa dibilang, untuk mampu merasakan nikmatnya Ikhlas juga ada levelling nya. Dimana hal ini bertujuan untuk melatih optimalisasi ikhlas dengan memahami kemampuan tiap diri.

Ikhlas adalah kata kerja intransitif yang artinya bersih, suci, murni, dan jernih. Atau dalam definisi lainnya, tidak ternodai dan tercampur oleh unsur lain. Jadi, ikhlas adalah kesucian akan segala sesuatu karena Allah dan tidak tercampur unsur lainnya. Jadi, poin ikhlas itu niat yang murni karena Allah.

Menariknya, jika semua amal ibadah yang kita lakukan mampu diniatkan hanya karena Allah semata, maka akan terasa sekali bahwa sungguh indah sekali aturan Allah. Namun, keikhlasan itu perlu dilatih karena ia hal yang berat. Sekaliber para sahabat pun masih berat dalam mengoptimalkannya. Sehingga latihan adalah konsep ideal untuk bisa menikmati makna keikhlasan tersebut.

Level satu. Ikhlas karena Allah, tersebab janji-janji Allah yang bersifat duniawi. Semisal pada QS. 2: 261 terkait pengali lipatan infak menjadi 700 kali lipat. Shalat dhuha mempermudah rezeki, dan taqwa akan memberikan solusi dari permasalahan hidup. Ini beberapa janji Allah yang bersifat duniawi, terkesan tampak dan dapat dinikmati. Sehingga saat seseorang yang beribadah karena berharap dapat rezeki melimpah atau problematika hidupnya hilang, jangan katakan ia tidak ikhlas beribadah. Ia tetaplah ikhlas karena Allah dengan mendasarkan pada janji Allah yang bersifat materi.

Level dua. Ikhlas karena Allah, tersebab janji-janji Allah yang ghaib. Semisal barangsiapa yang berpuasa akan diampuni dosanya, amal ibadah haji terjanjikan surga, pelaku puasa ramadhan mendapatkan surga VIP pintu Ar Rayyan. Jadi, saat seorang muslim melaksanakan ibadah karena mengharap surga, ampunan dan lainnya, tetaplah ia ikhlas beramal karena semua janji itu dari Allah. Jadi, ia beribadah karena Allah.

Namun, level tertinggi keikhlasan adalah Level tiga. Yaitu ikhlas karena Allah tanpa tendensi apapun. Ya, pada level ini kita berserah diri secara penuh, terserah Allah bagaimana nantinya. Karena logikanya, kalau kita memiliki tendensi pribadi hanya mengharapkan beberapa dari janji Allah, kita akan membatasi kemampuan Allah mengaruniakan kebaikan kepada kita.

Semisal Allah mampu memberikan kita 1000 kali lipat, tapi kita hanya meminta 700 kali lipat, kan kitalah yang membatasinya. Maka di surat Al Baqarah : 261 itu ditutup dengan kalimat yang indah “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunianya)”. Oleh karenanya, makna keikhlasan itu harapan kepada Allah akan kebaikan bagi diri. Karena hal spesifik yang kita harapkan bisa jadi buruk bagi kita, tetapi karunia Allah adalah yang terbaik bagi hambanya. Maka alangkah bahagianya hidup bila mampu mencapai keikhlasan hakiki karena Allah sendiri yang akan mengaruniakan kebaikan mendasar kebutuhan kita yang hanya Allah memahaminya. Mari belajar berikhlas!

Oleh:
Ustaz Heru Kusumahadi M.PdI
Pembina Surabaya Hijrah (KAHF)

————————

Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
💳 BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

Para Sahabat Nabi Senang Bersedekah Meski Dalam Kondisi Terbatas

Para Sahabat Nabi Senang Bersedekah Meski Dalam Kondisi Terbatas

Rasulullah -shallallahu `alaihi wa sallam mengajarkan bahwa Islam merupakan agama persaudaraan (ikhaa`), kasih sayang (mawaddah) dan solidaritas (takaful). Ajaran luhur ini mengajarkan agar yang kuat membantu yang lemah, yang kaya menanggung yang fakir, yang berkecukupan membantu yang kekurangan. Karunia Allah diberikan kepada hamba-Nya melalui cara-cara yang berbeda, termasuk melalui tangan saudaranya. Hal ini disebut dalam sabda Rasulullah,

“Siapa yang memiliki kelebihan bekal hendaklah memberikannya kepada orang yang tidak memiliki perbekalan”
(HR. Muslim).

Para sahabat Nabi senang berlomba-lomba menjadi pintu bagi rezeki saudaranya. Salah satunya adalah Abdurrahman bin Auf yang dikenal dengan sedekahnya yang luar biasa. Sahabat nabi ini mengajarkan bahwa sedekah merupakan karakter pengusaha muslim. Di antara salah satu kisah sedekahnya adalah, bahwa Abdurrahman menjual tanahnya kepada Usman seharga 40.000 dinar (1 dinar = 4.25 gram emas) dan menyedekahkan seluruh hasil penjualan kepada Bani Zuhrah, fuqara dan kepada para istri Rasulillah. Abdurrahman bin Auf juga dikenal sebagai sahabat yang mewasiatkan hartanya dalam jumlah besar, diantaranya: wasiat untuk 100 pejuang Badar dimana setiap orang mendapat 400 dinar, wasiat untuk jihad sebanyak 1000 ekor kuda, dan wasiat kebun senilai 100.000 dinar untuk ummahatul mukminin.

Dalam bab sedekah, sahabat nabi dikenal dengan respon cepatnya terhadap arahan wahyu. Dikisahkan bahwa ketika turun Ali Imran 92, Abu Thalhah menemui Rasulullah dan menyampaikan,

“Ya Rasulullah, Allah berfirman, ‘Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai’. Hartaku yang paling aku sukai adalah kebun Bairuha. Kebun itu aku sedekahkan untuk Allah. Aku berharap mendapat pahala dan menjadi simpananku di sisi Allah. Silahkan manfaatkan untuk kemaslahatan umat.”

Rasulullah merespon sedekah Abu Thalhah dengan berkata: “Luar biasa, harta ini memperoleh keuntungan besar. Aku telah mendengar apa yang kamu harapkan. Dan aku menyarankan agar manfaatnya diberikan kepada kerabat dekatmu.”

Sahabat Utsman bin Affan juga meyakini bahwa berbisnis dengan Allah lebih menguntungkan dibanding dengan bisnis di pasar. Dikisahkan, pada era Abu Bakar pernah terjadi kekeringan dan paceklik. Masyarakat menghadapi situasi sulit karena lahan-lahan mengering, tanaman tidak tumbuh, hujan tidak turun, dan hewan-hewan ternak mati.

Masyarakat mendatangi Abu Bakar mengadukan kondisi hidup mereka seraya berkata, “Apa yang harus kami lakukan?” Abu Bakar menjawab, “Pulanglah dan bersabarlah. Semoga, tidak sampai sore Allah memberikan jalan keluar.”

Saat hari memasuki sore, terdengar informasi bahwa kafilah dagang Utsman bin Affan tiba dari Syam dan memasuki kota Madinah. Kafilah itu membawa 1000 ekor unta yang penuh dengan muatan kebutuhan pokok masyarakat. Kafilah berhenti di depan rumah Utsman dan menurunkan barang-barang dagangan. Para pedagang lainnya pun datang menawar dagangannya: “Kami ingin membeli daganganmu dan menjualnya. Masyarakat sangat membutuhkan barang-barang ini.” Usman bertanya, “Kalian sanggup memberiku keuntungan berapa?” Para pedagang, “Satu dirham dengan dua dirham”. Usman, “Tambahkanlah, beri aku lebih dari itu”.

Para pedagang siap membeli hingga memberi Usman keuntungan lima kali lipat. Tetapi Usman mengatakan bahwa ada yang telah menjanjikan keuntungan lebih dari tawaran mereka. Pedagang-pedagang itu keheranan dan bertanya, “Tidak ada pedagang selain kami di Madinah ini. Tidak ada yang mendahului kami yang menawar daganganmu. Siapa yang berani memberi tawaran lebih tinggi?” Usman menjawab, “Sesungguhnya Allah membeli dariku seharga 10 dirham dari setiap 1 dirham. Satu kebajikan diganti dengan 10 kali lipat. Apa kalian berani memberiku lebih?” Usman melanjutkan, “Aku menjadikan Allah sebagai saksi. Aku sedekahkan semua dagangan ini kepada fakir-miskin Madinah”.

Para sahabat memiliki tekad kuat untuk bersedekah, meskipun mereka tak memiliki uang. Mereka adalah generasi terbaik sehingga kebaikan mereka patut diteladani oleh muslim, baik dalam kapasitasnya sebagai pengusaha yang memiliki harta, maupun muslim biasa dengan harta yang terbatas. Etos sedekah para sahabat Nabi menjadi inspirasi bagi muslim untuk meraih kebaikan hidup.

Wallahu a`lam bishawab

Oleh:
Ustaz Dr. Ahmad Jalaluddin, Lc., MA
Dosen Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019