Level Ikhlas Manusia

Level Ikhlas Manusia

“Ghanimah, ghanimah..”, ucap beberapa sahabat Rasulullah saat kaum Quraisy melarikan diri di perang Uhud. Teriakan sukacita akan adanya harta rampasan perang itu pun terdengar oleh pasukan pemanah yang ditugaskan tetap berada di atas bukit Ar Rumah. Alhasil ada sebagian pasukan pemanah yang tertarik akan kepemilikan harta perang tersebut hingga dalam kisahnya 40 orang pasukan pemanah turun dari posisinya. Kesempatan ini terlihat oleh Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal untuk merebut posisi strategis tersebut. Akibatnya, kaum muslimin menjadi kocar kacir, bahkan Rasulullah terdesak dan hampir terbunuh.

Memang, alasan yang nampak sebagai penyebab serinya Perang Uhud ini adalah ketidaktaatan pasukan pemanah yang meninggalkan posisinya. Namun, saat kita ambil sudut pandang lainnya, stimulan kejadian tersebut adalah adanya kecintaan yang berlebih terhadap kepemilikan harta dibanding janji Allah dan Rasulullah. Nah, jika dikaitkan akan skala prioritas mana yang didahulukan antara janji Allah dan Rasulullah dengan iming-iming keindahan harta dunia.

Pembahasan hal ini adalah masuk ranah keikhlasan, yakni bagaimana niat seseorang dalam melakukan sesuatu. Bisa dibilang, untuk mampu merasakan nikmatnya Ikhlas juga ada levelling nya. Dimana hal ini bertujuan untuk melatih optimalisasi ikhlas dengan memahami kemampuan tiap diri.

Ikhlas adalah kata kerja intransitif yang artinya bersih, suci, murni, dan jernih. Atau dalam definisi lainnya, tidak ternodai dan tercampur oleh unsur lain. Jadi, ikhlas adalah kesucian akan segala sesuatu karena Allah dan tidak tercampur unsur lainnya. Jadi, poin ikhlas itu niat yang murni karena Allah.

Menariknya, jika semua amal ibadah yang kita lakukan mampu diniatkan hanya karena Allah semata, maka akan terasa sekali bahwa sungguh indah sekali aturan Allah. Namun, keikhlasan itu perlu dilatih karena ia hal yang berat. Sekaliber para sahabat pun masih berat dalam mengoptimalkannya. Sehingga latihan adalah konsep ideal untuk bisa menikmati makna keikhlasan tersebut.

Level satu. Ikhlas karena Allah, tersebab janji-janji Allah yang bersifat duniawi. Semisal pada QS. 2: 261 terkait pengali lipatan infak menjadi 700 kali lipat. Shalat dhuha mempermudah rezeki, dan taqwa akan memberikan solusi dari permasalahan hidup. Ini beberapa janji Allah yang bersifat duniawi, terkesan tampak dan dapat dinikmati. Sehingga saat seseorang yang beribadah karena berharap dapat rezeki melimpah atau problematika hidupnya hilang, jangan katakan ia tidak ikhlas beribadah. Ia tetaplah ikhlas karena Allah dengan mendasarkan pada janji Allah yang bersifat materi.

Level dua. Ikhlas karena Allah, tersebab janji-janji Allah yang ghaib. Semisal barangsiapa yang berpuasa akan diampuni dosanya, amal ibadah haji terjanjikan surga, pelaku puasa ramadhan mendapatkan surga VIP pintu Ar Rayyan. Jadi, saat seorang muslim melaksanakan ibadah karena mengharap surga, ampunan dan lainnya, tetaplah ia ikhlas beramal karena semua janji itu dari Allah. Jadi, ia beribadah karena Allah.

Namun, level tertinggi keikhlasan adalah Level tiga. Yaitu ikhlas karena Allah tanpa tendensi apapun. Ya, pada level ini kita berserah diri secara penuh, terserah Allah bagaimana nantinya. Karena logikanya, kalau kita memiliki tendensi pribadi hanya mengharapkan beberapa dari janji Allah, kita akan membatasi kemampuan Allah mengaruniakan kebaikan kepada kita.

Semisal Allah mampu memberikan kita 1000 kali lipat, tapi kita hanya meminta 700 kali lipat, kan kitalah yang membatasinya. Maka di surat Al Baqarah : 261 itu ditutup dengan kalimat yang indah “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunianya)”. Oleh karenanya, makna keikhlasan itu harapan kepada Allah akan kebaikan bagi diri. Karena hal spesifik yang kita harapkan bisa jadi buruk bagi kita, tetapi karunia Allah adalah yang terbaik bagi hambanya. Maka alangkah bahagianya hidup bila mampu mencapai keikhlasan hakiki karena Allah sendiri yang akan mengaruniakan kebaikan mendasar kebutuhan kita yang hanya Allah memahaminya. Mari belajar berikhlas!

Oleh:
Ustaz Heru Kusumahadi M.PdI
Pembina Surabaya Hijrah (KAHF)

————————

Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
💳 BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019

Para Sahabat Nabi Senang Bersedekah Meski Dalam Kondisi Terbatas

Para Sahabat Nabi Senang Bersedekah Meski Dalam Kondisi Terbatas

Rasulullah -shallallahu `alaihi wa sallam mengajarkan bahwa Islam merupakan agama persaudaraan (ikhaa`), kasih sayang (mawaddah) dan solidaritas (takaful). Ajaran luhur ini mengajarkan agar yang kuat membantu yang lemah, yang kaya menanggung yang fakir, yang berkecukupan membantu yang kekurangan. Karunia Allah diberikan kepada hamba-Nya melalui cara-cara yang berbeda, termasuk melalui tangan saudaranya. Hal ini disebut dalam sabda Rasulullah,

“Siapa yang memiliki kelebihan bekal hendaklah memberikannya kepada orang yang tidak memiliki perbekalan”
(HR. Muslim).

Para sahabat Nabi senang berlomba-lomba menjadi pintu bagi rezeki saudaranya. Salah satunya adalah Abdurrahman bin Auf yang dikenal dengan sedekahnya yang luar biasa. Sahabat nabi ini mengajarkan bahwa sedekah merupakan karakter pengusaha muslim. Di antara salah satu kisah sedekahnya adalah, bahwa Abdurrahman menjual tanahnya kepada Usman seharga 40.000 dinar (1 dinar = 4.25 gram emas) dan menyedekahkan seluruh hasil penjualan kepada Bani Zuhrah, fuqara dan kepada para istri Rasulillah. Abdurrahman bin Auf juga dikenal sebagai sahabat yang mewasiatkan hartanya dalam jumlah besar, diantaranya: wasiat untuk 100 pejuang Badar dimana setiap orang mendapat 400 dinar, wasiat untuk jihad sebanyak 1000 ekor kuda, dan wasiat kebun senilai 100.000 dinar untuk ummahatul mukminin.

Dalam bab sedekah, sahabat nabi dikenal dengan respon cepatnya terhadap arahan wahyu. Dikisahkan bahwa ketika turun Ali Imran 92, Abu Thalhah menemui Rasulullah dan menyampaikan,

“Ya Rasulullah, Allah berfirman, ‘Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai’. Hartaku yang paling aku sukai adalah kebun Bairuha. Kebun itu aku sedekahkan untuk Allah. Aku berharap mendapat pahala dan menjadi simpananku di sisi Allah. Silahkan manfaatkan untuk kemaslahatan umat.”

Rasulullah merespon sedekah Abu Thalhah dengan berkata: “Luar biasa, harta ini memperoleh keuntungan besar. Aku telah mendengar apa yang kamu harapkan. Dan aku menyarankan agar manfaatnya diberikan kepada kerabat dekatmu.”

Sahabat Utsman bin Affan juga meyakini bahwa berbisnis dengan Allah lebih menguntungkan dibanding dengan bisnis di pasar. Dikisahkan, pada era Abu Bakar pernah terjadi kekeringan dan paceklik. Masyarakat menghadapi situasi sulit karena lahan-lahan mengering, tanaman tidak tumbuh, hujan tidak turun, dan hewan-hewan ternak mati.

Masyarakat mendatangi Abu Bakar mengadukan kondisi hidup mereka seraya berkata, “Apa yang harus kami lakukan?” Abu Bakar menjawab, “Pulanglah dan bersabarlah. Semoga, tidak sampai sore Allah memberikan jalan keluar.”

Saat hari memasuki sore, terdengar informasi bahwa kafilah dagang Utsman bin Affan tiba dari Syam dan memasuki kota Madinah. Kafilah itu membawa 1000 ekor unta yang penuh dengan muatan kebutuhan pokok masyarakat. Kafilah berhenti di depan rumah Utsman dan menurunkan barang-barang dagangan. Para pedagang lainnya pun datang menawar dagangannya: “Kami ingin membeli daganganmu dan menjualnya. Masyarakat sangat membutuhkan barang-barang ini.” Usman bertanya, “Kalian sanggup memberiku keuntungan berapa?” Para pedagang, “Satu dirham dengan dua dirham”. Usman, “Tambahkanlah, beri aku lebih dari itu”.

Para pedagang siap membeli hingga memberi Usman keuntungan lima kali lipat. Tetapi Usman mengatakan bahwa ada yang telah menjanjikan keuntungan lebih dari tawaran mereka. Pedagang-pedagang itu keheranan dan bertanya, “Tidak ada pedagang selain kami di Madinah ini. Tidak ada yang mendahului kami yang menawar daganganmu. Siapa yang berani memberi tawaran lebih tinggi?” Usman menjawab, “Sesungguhnya Allah membeli dariku seharga 10 dirham dari setiap 1 dirham. Satu kebajikan diganti dengan 10 kali lipat. Apa kalian berani memberiku lebih?” Usman melanjutkan, “Aku menjadikan Allah sebagai saksi. Aku sedekahkan semua dagangan ini kepada fakir-miskin Madinah”.

Para sahabat memiliki tekad kuat untuk bersedekah, meskipun mereka tak memiliki uang. Mereka adalah generasi terbaik sehingga kebaikan mereka patut diteladani oleh muslim, baik dalam kapasitasnya sebagai pengusaha yang memiliki harta, maupun muslim biasa dengan harta yang terbatas. Etos sedekah para sahabat Nabi menjadi inspirasi bagi muslim untuk meraih kebaikan hidup.

Wallahu a`lam bishawab

Oleh:
Ustaz Dr. Ahmad Jalaluddin, Lc., MA
Dosen Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


Tunaikan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf melalui Lembaga Amil Zakat Nasional LMI, transfer bank:
BSI: 708 2604 191
a.n Lembaga Manajemen Infaq

atau klik https://www.zakato.co.id/payment/?pid=1425

Konfirmasi: 0823 3770 6554


LAZ Nasional LMI Jakarta – Banten – Jawa Barat
Jalan Desa Putera No.5 RT 1 RW 17, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
www.zakato.co.id | Hotline: 0823 3770 6554
SK Kementrian Agama Republik Indonesia No. 672 Tahun 2021
SK Nazhir Wakaf Uang BWI No. 3.3 00231 Tahun 2019